BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tinjauan
Umum Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian,
apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Sedangkan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dijelaskan bahwa apotek adalah
suatu tempat tertentu, dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Tugas dan fungsi apotek menurut Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 2, apotek mempunyai tugas dan fungsi sebagai
berikut :
1.
Tempat pengabdian profesi apoteker yang
telah mengucapkan sumpah jabatan.
2.
Sarana yang melaksanakan peracikan, pengubahan
bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat/bahan obat.
3.
Sarana penyalur perbekalan farmasi yang
harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata
(Anonim, 2009).
Visi adalah sebuah impian atau cita-cita yang akan diperoleh pada masa depan.
Fungsi diperlukannya visi di dalam suatu apotek adalah:
1.
Untuk
memberikan arah kemana organisasi atau apotek harus menuju.
2.
Untuk
memberikan landasan motivasi.
3.
Untuk menjadi
landasan moral dan perilaku bagi setiap karyawan dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya.
Misi adalah
tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai impian pemiliknya. Fungsi
diperlukannya misi adalah sebagai landasan utama dalam membuat rencana bisnis
apotek, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Umar, 2004).
Salah satu peran apotek adalah sebagai lembaga informasi obat baik kepada
teman sejawat, tenaga kesehatan, maupun masyarakat umum tentang efek, manfaat
dan toksik sediaan tertentu serta cara penggunaan atau pemanfaatan dari alat
kesehatan. Pemberian informasi kepada pasien atau masyarakat dapat membangun
suatu hubungan yang baik sehingga menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan
penyerahan obat (Umar, 2004).
2.2
Tenaga
Kefarmasian dan Kompetensinya
Dalam
menetapkan struktur organisasi sebuah apotek, dapat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan
dan besarnya volume aktivitas apotek, sehingga untuk apotek yang volume
aktivitasnya masih kecil dapat menggunakan bentuk struktur organisasi yang
lebih sederhana dengan melakukan perangkapan fungsi kegiatan, selama resiko kerugian
dapat dihindari dan dapat dikendalikan (Umar, 2004).
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas:
2.2.1
Apoteker
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, yang dimaksud
dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan
menurut PP No 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang dimaksud dengan
apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Anonim, 2009).
Apoteker Pengelola Apotek (APA)
adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotik (SIA). Apoteker Pendamping
(Aping) adalah apoteker yang bekerja di apotek, di samping APA dan atau
menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Aping bertugas
menggantikan APA apabila APA tidak berada di tempat selama lebih dari tiga
bulan secara terus-menerus. Aping harus sudah memiliki Surat Izin Kerja (SIK)
dan tidak menjadi APA di apotek lain (Anonim, 2002).
Lingkup tanggung jawab
Apoteker meliputi :
a.
Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan
obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
b.
Menjamin mutu, keamanan, efektivitas obat yang
diberikan dan memper-
lihatkan hak asasi dan
keunikan setiap pribadi.
c.
Menjamin setiap orang atau masyarakat yang
menggunakan obat atau alat kesehatan
mendapatkan informasi tentang obat atau alat kesehatan yang digunakan demi
tercapainya kepatuhan penggunaan.
d. Memiliki
tanggung jawab bersama dengan tenaga kesehatan lain dan pasien dalam
menghasilkan terapi pengobatan yang optimal (Anonim, 2004).
Apoteker bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek
dan apoteker dalam pengolaannya harus memiliki kemampuan menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi
multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, belajar sepanjang
karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan (Anonim,2004).
2.2.2
Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga
teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apotek dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis
Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi atau Asisten Apoteker (Anonim, 2011).
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki
STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian di bawah
bimbingan dan pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan
pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya (Anonim, 2009).
Lingkup
pekerjaan kefarmasian asisten apoteker sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 679/MENKES/SK/V/2003 BAB III pasal 8 ayat 2 (dua)
meliputi :
a.
Melaksanakan
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat berdasarkan resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
b.
Pekerjaan
kefarmasian yang dilakukan oleh asisten apoteker dilakukan dibawah pengawasan
apoteker / pimpinan unit, atau dilakukan secara mandiri sesuai peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
2.3
Pekerjaan Kefarmasian
Pekerjaan kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional (Anonim, 2011).
2.3.1 Pengadaan
Sediaan Farmasi
Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, meliputi
: pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran, dan pemusnahan perbekalan
farmasi serta administrasi penyimpanan dan penggunaan narkotika dan psikotropika. Pengeluaran obat memakai sistem
FIFO (first in first out) dan FEFO (first
expire first out).
a.
Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari
meninjau masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat,
identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis obat, menentukan
kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbarui standar obat.
b. Perencanaan
Perencanaan
merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga dalam rangka pengadaan
dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang
sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari
kekosongan obat. Dalam perencanaan pengadaan sediaan
farmasi seperti obat-obatan tersebut maka perlu dilakukan pengumpulan data
obat-obat yang akan dipesan. Data obat-obatan tersebut biasanya ditulis dalam
buku defecta, yaitu jika barang habis atau persediaan menipis berdasarkan
jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan sebelumnya (Hartini dan Sulasmono,
2006). Proses ini
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1) Metode
Morbiditas, adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan untuk beban kesakitan ( morbidity
lead) yang harus
dilayani.
2) Metode Konsumsi, adalah perhitungan
kebutuhan obat didasarkan pada data riil konsumsi obat periode yang
lalu. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan
alokasi dana dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:
a) Sistem VEN,
yaitu analisis menggunakan obat berdasarkan dampak tiap jenis obat
terhadap kesehatan, terbagi dalam tiga kelompok:
(1)
Kelompok V (vital) adalah obat-obatan yang sangat
esensial, antaralain : obat penyelamat (live
saving drug), obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok (misal:
vaksin) dan obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab
kematian besar.
(2) Kelompok E
(essensial) adalah obat-obatan yang bekerja kausalyaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit.
(3)
Kelompok N (non essensial) adalah obat-obatan
penunjang, yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa
dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan
ringan.
b) Analisis
ABC, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara mengelompokkan
jumlah dana yang diserap untuk setiap jenis obat dalam tiga
kelompok:
(1)
Klasifikasi A, merupakan butir persediaan yang
mewakili 15% dari total persediaan, tetapi mewakili
70-80% dari total biaya persediaan.
(2)
Klasifikasi B, merupakan butir persediaan yang
mewakili 30% dari total persediaan, tetapi mewakili
15-25% dari total biaya persediaan.
(3)
Klasifikasi C, merupakan butir persediaan yang
mewakili 55% dari total persediaan, tetapi mewakili 5%
dari total biaya persediaan (Anonim, 1990).
c) Metode
Kombinasi
Metode ini merupakan
gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat
berdasarkan pola penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi
periode sebelumnya.
d) Metode
Just in time
Perencanaan
dilakukan saat obat dibutuhkan dan obat yang ada di apotek dalam jumlah terbatas. Perencanaan ini untuk obat-obat yang
jarang dipakai atau diresepkan dan harganya mahal serta memiliki waktu
kadaluarsa yang pendek (Hartini dan Sulasmono, 2006).
c. Pengadaan/Pembelian
Pengadaan sediaan
farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan
sediaan farmasi dan harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Pengadaan farmasi harus dapat menjamin
keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi.
Pengadaan sediaan
farmasi apotek termasuk di dalamnya
golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropik dan narkotik serta perbekalan kesehatan dapat berasal
langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (PBF) maupun apotek lain.
Sediaan farmasi berupa golongan obat bebas dapat pula dibeli dari toko obat
berizin atau pedagang
eceran obat. Sedangkan untuk
obat golongan narkotik hanya dapat dipesan di PBF yang telah ditunjuk oleh
pemerintah, yakni PBF Kimia Farma. Semua pemesanan harus menggunakan surat pemesanan dan pembelian
harus dengan faktur pembelian resmi (Hartini
dan Sulasmono, 2006).
Pengadaan di
apotek dapat dilakukan melalui 5 (lima) macam pengadaan, yaitu:
1) Pengadaan
dalam jumlah terbatas
Pengadaan dengan
pembelian dilakukan apabila persediaan barang dalam hal ini adalah obat-obatan
sudah menipis. Barang-barang yang
dibeli adalah obat-obatan yang dibutuhkan saja, dalam waktu satu sampai dua
minggu. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi
stok obat dalam jumlah besar dan pertimbangan masalah biaya. Pengadaan obat
dalam jumlah terbatas ini dilakukan apabila PBF tersebut ada di dalam kota dan
selalu siap mengirimkan obat dalam waktu cepat.
2) Pengadaan
terencana
Pengadaan dengan
pembelian obat berdasarkan penjualan setiap minggu atau setiap bulan. Hasil pendataan tersebut diharapkan dapat
memaksimalkan prioritas pengadaan obat. Cara ini biasa dilakukan apabila PBF
berada di luar kota.
3) Pengadaan
secara spekulatif
Cara ini dilakukan apabila akan
ada kenaikan harga serta bonus
yang
ditawarkan
jika mengingat kebutuhan, namun resiko cara ini yaitu
terkadang
tidak sesuai dengan rencana, karena obat dapat rusak, apabila stok obat
melampaui kebutuhan. Di sisi lain obat-obat yang mempunyai ED akan menyebabkan
kerugian yang besar, namun apabila spekulasinya benar dapat mendatangkan
keuntungan yang besar.
4) Pengadaan
intuisi
Pengadaan dengan
perkiraan peningkatan permintaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya karena
pengaruh wabah penyakit seperti demam berdarah.
5) Konsinyasi
Pengadaan yang berasal dari
barang yang dititipkan pemilik ke apotek. Apotek
hanya membayar barang yang terjual, sedangkan sisanya dapat diperpanjang masa
konsinyasinya. Cara ini biasa dilakukan pada produk baru (Hartini dan
Sulasmono, 2006).
Berdasarkan pada
cara pembayaran, pengadaan dapat dikelompokkan menjadi:
1) Pengadaan secara tunai (cash on delivery), pembelian dilakukan secara langsung.
2) Pengadaan
secara kredit, pembayaran dilakukan setelah faktur jatuh tempo (Hartini dan Sulasmono, 2006).
d. Penerimaan
Penerimaan
merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan far-
masi yang telah diadakan sesuai aturan
kefarmasian. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang
diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu
kedatangan. Pada penerimaan barang, petugas
yang menerima harus mencocokkan barang dengan faktur dan Surat Pesanan (SP). Barang
harus diperiksa jumlah, Expired Date
(ED), jenis, bentuk sediaan, nomor batch dan harga satuan (Anonim,
2004).
Setiap
pengiriman sediaan farmasi yang dipesan disertai minimal 2 rangkap faktur
(untuk PBF dan apotik) dan SP yang ditandatangani oleh APA. Barang yang datang
dicocokkan dengan SP, bila sesuai akan ditandatangani oleh APA atau AA disertai
dengan nomor SIK dan diberi stempel apotek
sebagai bukti sediaan farmasi telah diterima dan bila tidak sesuai segera
dikembalikan ke PBF pengirim. Untuk obat dengan tanggal kadaluarsa dibuat
perjanjian pengembalian
obat ke PBF yang bersangkutan dengan batas waktu sesuai perjanjian (Hartini dan
Sulasmono, 2006).
e. Penyimpanan
Penyimpanan
sediaan farmasi harus diperhatikan bahwa obat-obatan atau bahan obat harus
disimpan dalam wadah asli dari pabrik, namun dalam hal pengecualian maka
penyimpanan harus mampu mencegah kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas. Sediaan farmasi juga harus disimpan dalam kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan (Anonim, 2004).
Tujuan
penyimpanan adalah :
1) Memelihara
mutu sediaan farmasi.
2) Menghindari
penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
3) Menjaga
ketersediaan.
4) Memudahkan
pencarian dan pengawasan
Secara umum
kegiatan penyimpanan dapat diuraikan sebagai berikut :
1)
Menerima sediaan farmasi dan dokumen
pendukung, antara lain surat pesanan barang, surat pengiriman, dan faktur
barang.
2)
Memeriksa sediaan farmasi dan dokumen
pendukungnya, baik dari segi jumlah, mutu, waktu kadaluwarsa, nomor batch,
harga dan spesifikasi lain bila diperlukan.
3)
Menyimpan sediaan farmasi sesuai ketentuan
untuk menjamin sediaan selama penyimpanan.
4)
Memeriksa secara berkala dan menjaga
sediaan farmasi dari kerusakan atau hilang yang merupakan fungsi dari
pemeliharaan dan pengendalian (controlling).
5)
Memilih dan melakukan pengepakan untuk
pengiriman sediaan farmasi dan menyiapkan dokumennya.
6)
Mengirim sediaan farmasi dengan dokumen
pendukung dan mengarsipkannya (surat permintaan barang, surat pengiriman dan
faktur barang).
7)
Mengadministrasikan keluar masuknya barang
dengan tertib.
8)
Menjaga kebersihan dan kerapian ruang
kerja dan tempat penyimpanan / gudang (Anonim, 2004).
Penyimpanan
sediaan farmasi harus memperhatikan resiko keamanan sediaan farmasi,
mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi penyimpanan serta perawatan
fasilitas penyimpanan.
f. Penyaluran
atau Distribusi
Pekerjaan
Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi pada fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi harus
memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh Menteri dan
wajib dicatat oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tenaga
kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang distribusi atau penyaluran (Anonim, 2009).
Tujuan distribusi
obat adalah :
1) Mempertahankan
kualitas obat.
2) Mengoptimalkan
kualitas obat.
3) Memberikan
informasi kebutuhan obat yang akan datang.
4) Mengurangi
resiko kerusakan dan kehilangan obat.
Pengeluaran obat
memakai sistem FIFO (first in first out)
dan FEFO (first expire first out)
(Anonim, 2004).
g) Pemusnahan
Pemusnahan
sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan terhadap sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang:
1) Diproduksi
tanpa memenuhi persyaratan yang berlaku.
2) Telah
kadaluwarsa.
3) Tidak
memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan
ilmu pengetahuan.
4) Dicabut izin edarnya.
5) Berhubungan
dengan tindak pidana di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pemusnahan
sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh badan usaha
yang memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan
atau orang yang bertanggung jawab atas sarana kesehatan dan atau pemerintah. Pemusnahan
sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan
dengan memperhatikan dampak tehadap kesehatan manusia serta upaya pelestarian
lingkungan hidup. Pemusnahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus dilaporkan kepada Menteri. Laporan pemusnahan
sediaan farmasi dan alat kesehatan sekurang-kurangnya
harus memuat keterangan waktu dan tempat pelaksanaan
pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, nama penanggung jawab pelaksana
pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, nama satu orang saksi dalam
pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan (Anonim, 1998).
h. Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika
1) Narkotika
Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan (Anonim,2009).
Undang-undang
RI No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dijelaskan bahwa narkotika dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
a)
Narkotika golongan I adalah narkotika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Narkotika golongan I memiliki potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan. Contoh Daun koka, Tanaman Papaver Somniferum L:
opium, kokain dan heroin.
b) Narkotika golongan II adalah narkotika yang
berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengskibstksn ketergantungan. Contoh: fentanil, morfin, petidin, dan benzetidin.
c) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
menyebabkan ketergantungan. Contoh : kodein, etilmorfin, nikokodina, dan buprenorfina.
Pengelolaan
narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, penyerahan, pelayanan, pelaporan dan
pemusnahan narkotika.
a) Pemesanan
Apotek dan apotek
Rumah Sakit mendapatkan obat narkotika dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia
Farma dengan jalan menulis dan mengirimkan Surat Pesanan (SP) yang dibuat 4
rangkap. Satu untuk arsip apotek dan sisanya untuk PBF, selanjutnya PBF
mengirimkannya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota, Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Tengah dan Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan Jawa Tengah.
b) Penyimpanan
Tempat khusus
untuk menyimpan narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
(1) Harus dibuat seluruhnya
dari kayu atau bahan lain yang kuat.
(2) Harus mempunyai kunci
yang kuat.
(3) Dibagi dua masing-masing dengan kunci
yang berlainan; bagian
pertama digunakan untuk menyimpan narkotika, petidina, dan garam-garamnya serta
persediaan narkotik, bagian
kedua
dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
(4) Apabila
tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka
lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai (Anonim, 1997).
c) Penyerahan
Apotek hanya dapat
menyerahkan narkotik kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai
pengobatan, dokter dan pasien dan hanya dapat diserahkan kepada pasien
berdasarkan resep dokter (Anonim,2009).
Penyerahan
Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
(1) Menjalankan
praktik dokter dengan memberikan narkotika melalui suntikan;
(2) menolong
orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan narkotika melalui suntikan; atau
(3) menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh
dokter hanya dapat diperoleh di apotek.
(1) Pelayanan
Narkotika
Pelayanan
Resep yang Mengandung Narkotika Menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disebutkan bahwa narkotika hanya dapat diserahkan pada pasien untuk pengobatan
penyakit berdasarkan resep dokter. Apotek
dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Selain itu berdasarkan surat edaran Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) No. 336/E/SE/1997 disebutkan :
(a) Sesuai
dengan bunyi pasal 7 ayat 2 UU No.9 tahun 1976 tentang narkotika, apotek
dilarang melayani salinan resep dari apotek lain yang mengandung narkotika,
walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.
(b) Untuk
resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek
boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani
oleh apotek yang menyimpan resep asli.
(c) Salinan resep dari narkotika dengan tulisan iter tidak
boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak
boleh menambahkan tulisan
“iter” pada resep yang mengandung narkotika.
d) Pelaporan
Menurut UU No. 35 Pasal 14 ayat 2 tahun 2009 apotek wajib
membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan atau
pengeluaran narkotika yang ada di dalam penguasaanya kepada Menteri Kesehatan.
Laporan narkotika dibuat 4 rangkap, dikirim kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan setempat dan sebagai Arsip Apotek.
Dinas Kesehatan Provinsi
mengambil data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Laporan harus
ditandatangani oleh APA disertai nama terang, SIK APA dan stempel apotek. Laporan
bulanan narkotika berisi nomor urut, kodefikasi, nama sediaan, satuan,
persediaan awal bulan, tanggal, pemasukan, jumlah, pengeluaran (resep,
lain-lain, jumlah), persediaan akhir bulan dan keterangan.
e) Pemusnahan
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika,
disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dapat dilakukan apabila:
(1)
Diproduksi
tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan / atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi.
(2) Kadaluarsa
(3) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan / atau untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
(4) Berkaitan dengan tindak
pidana (Anonim, 1997a).
Pemusnahan narkotika dilaksanakan
oleh pemerintah, orang atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan
peredaran narkotika yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang (yang ditunjuk
Menteri Kesehatan) dan membuat Berita Acara Pemusnahan yang memuat antara lain
:
- Keterangan tempat, hari, tanggal,
jam, bulan dan tahun dilakukannya pemusnahan.
- Nama pemegang izin khusus
(APA/dokter).
- Nama saksi (1 orang dari
pemerintahan dan 1 orang dari badan instansi
yang bersangkutan).
- Nama, jenis, sifat dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
- Cara pemusnahan (dibakar, ditanam atau dengan cara lain yang
telah ditetapkan).
- Tanda tangan penanggungjawab apotek/pemegang izin
khusus/dokter pemilik narkotik dan saksi-saksi.
2) Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku
(Anonim,1997).
Pengelolaan
psikotropika meliputi pemesanan, penyimpanan, penyerahan, pelaporan, dan
pemusnahan psikotropika.
a)
Pemesanan
Pemesanan psikotropika menurut UU No. 5 tahun 1997
menggunakan surat pesanan khusus. Dipesan oleh apotek kepada PBF. Penyerahan
psikotropika dari apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lain, rumah sakit,
balai pengobatan, puskesmas dokter dan pelayanan resep dokter.
b)
Penyimpanan
Obat – obat golongan psikotropik
dalam penyimpanannya diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus,
terpisah dari obat yang lain. Pemasukan dan pengeluaran psikotropik dikontrol
dengan menggunakan kartu stok atau kartu stelling.
c)
Penyerahan
Penyerahan
psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya,rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien
berdasarkan resep dokter.
d) Pelaporan
Penggunaan
psikotropika dimonitor dengan mencatat resep-resep yang berisi obat
psikotropika secara tersendiri. Buku catatan harian berisi nomor, tanggal, nama
sediaan, persediaan awal, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, sisa akhir,
nama dan alamat pasien, dokter penulis resep, dan keterangan. Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun
1997, apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
dilakukan berhubungan dengan psikotropika kemudian dilaporkan secara berkala
satu tahun sekali. Laporan dibuat 4 rangkap, dikirim setiap tahun kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Laporan ini harus ditandatangani oleh Apoteker
Pengelola Apotek (APA) disertai nama terang, surat izin kerja dan cap apotek. Laporan bulanan
psikotropika berisi nomor urut, kodefikasi, nama sediaan, satuan, persediaan
awal bulan, tanggal, pemasukan dari, jumlah, pengeluaran (resep, lain-lain,
jumlah), persediaan akhir tahun.
e)
Pemusnahan
Pada
Pasal 53 UU No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika disebutkan bahwa pemusnahan
psikotropika dilaksanakan dalam hal :
(1) Berhubungan dengan tindak pidana.
(2) Diproduksi
tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses
produksi psikotropika.
(3) Kadaluarsa.
(4) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
2.3.2 Pelayanan Sediaan Farmasi
Apotek
melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian yang meliputi:
a) Pengelolaan
Resep
Resep
adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku (Anonim,2004).
Menurut Kepmenkes No.1027
tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, menerangkan bahwa
pelayanan resep meliputi skrining resep yang mencakup pemeriksaan kelengkapan
resep, kesesuaian farmasetika resp dan pertimbangan klinis pasien.
Resep harus memuat :
(1) Nama,
alamat dan nomer ijin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan.
(2) Tanggal penulisan resep (inscriptio).
(3) Tanda R/ pada
bagian kiri setiap penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
(invocatio).
(4) Bentuk
sediaan obat yang akan dibuat, aturan
pemakaian obat yang tertulis (signatura).
(5) Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku (subscriptio).
(6) Jenis
hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan.
(7) Tanda
seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi
dosis maksimal.
Copy resep yaitu salinan
tertulis dari suatu resep. Salinan resep
selain memuat semua keterangan yang termuat dalam resep asli harus pula memuat
:
(1) Nama
dan alamat apotek.
(2) Nama
dan nomor SIK Apoteker pengelola apotek.
(3) Nama
dokter dan tanggal pembuatan resep.
(4) Tanda
tangan Apoteker pengelola apotek.
(5) PCC
(Pro Copy Conform/ dicopy sesuai resep aslinya).
(6) Nomor
resep dan tanggal pembuatan.
Salinan resep harus
ditanda tangani oleh APA, resep atau
salinan resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik selama tiga
tahun. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis
resep atau yang merawat penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau
petugas lain yang berwenang menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Apoteker pengelola diizinkan
untuk menjual obat keras yang disebut dalam daftar obat wajib apotek tanpa
resep.
Penyiapan
resep mencakup kegiatan peracikan sampai dengan penyerahan dan konseling obat
kepada pasien. Kegiatan ini terdiri dari:
(1) Peracikan
Merupakan kegiatan
menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada
wadah.Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang
benar.
(a) Etiket
Etiket
harus jelas dan
dapat dibaca.
(b) Kemasan obat yang
diserahkan
Obat hendaknya dikemas
dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya (Anonim, 2004b).
(2) Penyerahan obat
Sebelum
diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian
antra obat dengan
resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dengan tenaga
kesehatan (Anonim, 2004b).
(a) Informasi
obat
Apoteker
harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien
sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi
(Anonim, 2004b).
(b) Konseling
Apoteker
harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah
sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovaskuler, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis
lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan (Anonim, 2004a).
(c) Monitoring
penggunaan obat
Setelah penyerahan obat kepada
pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk
pasien tertentu seperti cardiovaskuler,
diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya (Anonim, 2004a).
(d) Promosi
dan edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat,
apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker
ikut membantu penyebaran informasi tentang kesehatan antara lain dengan
penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain. Peranan
penting apoteker adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
secara tepat, aman dan rasional.Pelayanan informasi dapat menjalin interaksi
yang baik sehingga mengurangi atau mencegah kesalahan penyerahan obat. Adapun
yang dimaksud dengan pengelolaan informasi meliputi :
- Pengelolaan
informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter
dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
- Pengamatan
dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat
perbekalan farmasi lainnya.
Pengelolaan resep yang telah
dikerjakan :
- Resep yang telah dibuat disimpan menurut
urutan tanggal dan nomor penerimaan/pembuatan resep.
- Resep yang mengandung narkotika harus
dipisahkan dari resep lainnya, ditandai garis merah di bawah nama obatnya.
- Resep yang
telah disimpan melebihi tiga tahun dapat dimusnahkan dan cara pemusnahannya
adalah dengan cara dibakar atau
dengan cara lain yang memadai.
- Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker
Pengelola Apotek bersama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotek.
- Pada pemusnahan resep harus dibuat berita
acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat
dan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek dan seorang petugas apotek
yang ikut memusnahkan. Berita acara pemusnahan ini harus disebutkan hari dan tanggal
pemusnahan, tanggal yang terawal dan terakhir dari resep, berat resep yang
dimusnahkan dalam kilogram (Anief, 1998).
b) Pengelolaan
Obat Non Resep:
Obat yang dapat
diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria :
- Tidak
dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2
tahun dan orang tua diatas 65 tahun.
- Pengobatan
sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko
pada
kelanjutan penyakit
- Penggunaannya
tidak memerlukan cara dan atau alat khusus ang harus dilakukan olh tenaga
kesehatan.
- Penggunaannya
diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
- Obat dimaksud memiliki rasio khasiat
keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
(Anonim,1993).
c) Pengelolaan Obat Wajib Apotek (OWA):
Menurut
Kepmenkes No. 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek, yang dimaksud dengan
Obat Wajib Apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter
oleh apoteker di apotek. Apoteker di apotek, dalam melayani pasien yang
memerlukan obat tersebut diwajibkan :
- Memenuhi
ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang
bersangkutan.
- Membuat catatan pasien
serta obat yang telah diserahkan.
- Memberikan
informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek samping, dan
lain – lain yang perlu diperlihatkan kepada pasien.
Menurut
KepMenKes RI No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat-obat keras yang dapat
diserahkan oleh apoteker tanpa resep dokter (Obat Wajib Apotek No.1),
memutuskan dan menetapkan: Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat
diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter, obat yang masuk OWA ditetapkan Menteri Kesehatan, obat yang tercantum dalam lampiran SK ini dapat diserahkan oleh apoteker di
apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No.1. Obat Wajib ini dapat
ditinjau kembali dan disempurnakan setiap waktu sesuai dengan ketentuan
perundang – undangan yang berlaku.
Apoteker di apotek, dalam melayani pasien yang memerlukan
obat tersebut diwajibkan :
- Memenuhi
ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang
bersangkutan.
- Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
- Memberikan
informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek samping, dan
lain – lain yang perlu diperlihatkan oleh pasien.
Sesuai
perkembangan dibidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka pemerintah memandang
perlu adanya peninjauan kembali Daftar Obat yang dapat diserakhan tanpa resep
dokter oleh Apoteker di Apotik, sehingga diterbitkanlah PerMenKes No 924 tahun
1993 tentang OWA No. 2 dan PerMenKes No 1176 tahun 1993 tentang OWA No. 3.
d) Pelayanan
Residential (Home Care)
Apoteker
sebagai care giver diharapkan dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang
bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk pasien lansia dan penderita penyakit
kronis dan dalam aktifitas ini, apoteker membuat catatan pengobatan (medication record) (Anonim, 2004).